AL-IMAM ASY-SYAFI'IE (MUHAMMAD BN IDRIS ASY-SYAFI'IE) ANAK YATIM YANG DIMULIAKAN OLEH ALLAH TA'ALA PENULIS : AL-USTADZ JA'FAR UMAR THALIB (MAJALAH SALAFY EDISI 03 / TH V/ 1425 H / 2004 M) Bagian Ke-3 dari 3
Imam Asy-Syafi'ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada tahun. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad Asy-Syafi'ie, berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um, kumpulan riwayat keterangan Imam Asy-Syafi'ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma'rifatul Aatsar was Sunnan. Al-Imam Abu Nu'aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam Asy-Syafi'ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam Asy-Syafi'ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu'aim tersebut kami nukilkan sebagai berikut [1]: Imam Asy-Syafi'ie menyatakan : "Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyahnya juz 9 hal. 109) Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits. Imam Asy-Syafi'ie menyatakan: "Sungguh seandainya seorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa dan syirik, lebih baik baginya daripada ia mempelajari ilmu kalam (ilmu filsafat)." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyahnya juz 9 hal. 111) Beiau menyatakan juga: "Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam (filsafat) dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan." Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar Asy-Syafi'ie berkata: "Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyahnya juz 9 hal. 113) Diriwayatkan pula oleh Abu Nu'aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam Asy-Syafi'ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam (ilmu filsafat) yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam Asy-Syafi'ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Dan memang para Ulama' Ahlis Sunnah wal Jama'ah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang menyakini bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan : "Aku bertanya kepada Asy-Syafi'ie: maka beliaupun menjawabnya: . Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka beliaupun menjawab: ." [2] Demikian Imam Asy-Syafi'ie mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid'ah seperti yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syi'ah. Aliran Syi'ah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam, khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bid'ah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada rukun Iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta'ala). Juga aliran Murji'ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji'ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam Asy-Syafi'ie untuk melarang orang sholat di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini. Imam Asy-Syafi'ie juga amat keras menganjurkan Ummat Islam untuk jangan bertaqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut: Al-Hafidh Abu Nu'aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyahnya dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: "Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi'ie berkata: ."[3] Demikianlah para Ulama' bersikap tawadlu' sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu di murid. Guru-guru utama Imam Asy-Syafi'ie (yakni Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah) dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu Asy-Syafi'ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi'ie saat Imam Asy-Syafi'ie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi'ie duduk di majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. [4] Tetapi meskipun demikian, Imam Asy-Syafi'ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi'ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal. Imam Asy-Syafi'ie menyatakan pula: "Semua hadits yang dari Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku." [5] Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya. PENUTUP Masih banyak mutiara hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi'ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi'ie, juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus Syafi'ie. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Semoga Allah Ta'ala menggabungkan kita di barisan mereka di hari kiamat nanti. Amin Ya Mujibas Sa'ilin. [1] Hilyatul Auliya', Abu Nu'aim Al-Asfahani, jilid 9 hal 109-113. [2] Siar A'lamin Nubala', Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 31 [3] Hilyatul Auliya', Al-Hafidh Abu Nu'aim Al-Asfahani, jilid 9 hal. 170. [4] Demikian diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqibnya dan Ibnu Asakir dalam Tarikhnya dan dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Siar A'lamin Nubala' jilid 10 hal. 17. [5] Diriwayatkan dalam Aadaabus Syafi'ie dan Al-Bidayah. Adz-Dzahabi menukilkan riwayat ini dalam Siar A'lamin Nubala' jilid 10 hal. 35. |